Talbis Iblis Terhadap Orang-orang yang Meremehkan Buku
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary
Talbis Iblis Terhadap Orang-orang yang Meremehkan Buku ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 22 Januari 2024 M / 10 Rajab 1445 H.
Kajian tentang Talbis Iblis Terhadap Orang-orang yang Meremehkan Buku
Salah satu alasan mereka berusaha untuk melenyapkan dan meminggirkan buku-buku ini adalah, menurut mereka, buku-buku ini menyibukkan mereka dari ibadah, ada yang mengatakan, “Kitab-kitab ini menyibukkanku sehingga tidak fokus dalam beribadah,” maka Ibnul Jauzi memberikan tiga tanggapan terhadap perkataan itu.
Pertama, jika orang tersebut mengerti, bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah bagian dari ibadah, karena menuntut ilmu itu juga ibadah, bahkan ibadah yang utama. Karena dia menjadi dasar bagi ibadah-ibadah yang lainnya. Maka tidak mungkin buku-buku ini justru menghalangi kita dari ibadah, karena buku-buku ini yang mengantarkan kita kepada ilmu, dan buku adalah alat yang tidak bisa dipisahkan dari menuntut ilmu. Pernyataan tersebut sepertinya kontradiktif, yaitu pernyataan “buku-buku menyibukkannya dari ibadah” dengan “menuntut ilmu itu sendiri merupakan ibadah.” Kecuali mereka beranggapan bahwa menuntut ilmu itu bukan ibadah, tentunya tidak ada yang mengatakan seperti itu.
Menuntut ilmu itu diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memerintahkan kita:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dan banyak lagi ayat maupun hadits yang memerintahkan kita untuk menuntut ilmu.
Lihat: Islam Agama Ilmu
Dan salah satu doa Nabi adalah رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu), yaitu doa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Demikian juga Nabi pernah mendoakan seorang sahabat, yaitu Abdullah bin Abbas, اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ (Ya Allah berikanlah dia pemahaman dalam agama). Artinya, itu merupakan suatu yang diperintahkan dan itu termasuk ibadah, bahkan ibadah yang agung dan mulia.
Kedua, kesadaran serta hafalan yang dimiliki saat ini tidak akan berlangsung lama. Karena kita akan khilaf dan lupa. Maka perlu sesuatu catatan hitam di atas putih. Maka buku-buku ini akan menjaga agama ini, dan salah satu perwujudan dari apa yang Allah katakan:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr[15]: 9)
Begitulah Allah memelihara agama ini, mulai dari hafalan sampai menjadi tulisan, sehingga baku sampai hari ini.
Demikian, karena Allah tahu kekuatan manusia dalam menghafal. Para huffadz makin lama makin sedikit. Maka perlu ini dicetak atau dipatenkan dalam bentuk tulisan. Maka ditulislah buku-buku hadits, kemudian berkembang hingga kita tahu bagaimana isi perpustakaan yang sangat banyak khazanah-khazanah ilmiah yang dimiliki oleh kaum Muslimin untuk menjelaskan secara detail agama mereka. Jika buku-buku ini dilenyapkan, bagaimana kita bisa merangkai kembali apa yang sudah ditulis bertahun-tahun oleh para ulama? Tentunya akan hilang, tersia-siakan, dan ini sangat berbahaya.
Ketiga, anggap saja kita berada pada puncak kesadaran maupun hafalan. Maksudnya adalah bahwa kita memiliki daya ingat yang kuat, dan nilai itu akan berlangsung selamanya hingga tidak lagi memerlukan buku-buku tadi. Pertanyaannya adalah mengapa tidak diberikan saja buku-buku hadits itu kepada orang-orang yang memerlukan yang tidak kuat hafalannya? Kita tahu bahwa agama Islam makin lama makin berkembang ke seluruh penjuru dunia, sampai ke kutub utara, kutub selatan, ke timur, dan ke barat. Tentunya manusia tidak sama, apalagi non-Arab, mungkin kesulitan untuk menghafal ilmu ini. Maka perlu sesuatu yang tertulis supaya bisa disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Kita tahu mushaf Al-Qur’an itu tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tentunya tidak semua orang bisa pergi ke seluruh penjuru dunia, apalagi para huffadz, tentunya tidak sebanyak mushaf yang dicetak. Lalu bagaimana agar bangsa-bangsa dari berbagai negeri bisa membaca dan mengetahui isi Al-Qur’an?
Artinya, perlu di sana sesuatu yang tertulis hitam di atas putih. Maka, kalau mereka beranggapan kami tidak butuh buku-buku ini karena punya hafalan yang kuat, tidak akan hilang sampai hari kiamat. Maka di sana banyak orang-orang yang memerlukan buku itu. Karena mereka mungkin tidak memiliki hafalan yang kuat.
Oleh karena itu mengapa tidak diwakafkan saja buku-buku itu? Kenapa harus dimusnahkan sehingga siapa saja bisa memanfaatkannya?
Al-Marwazi meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang mewasiatkan agar buku-bukunya dikubur jika dia meninggal. Imam Ahmad pun menjawab, “Aku tidak suka jika ilmu dipendam.” Ini isyarat bahwa wasiat seperti itu jangan dijalankan. Karena ilmu itu bukan untuk dipendam. Ada saja orang-orang yang bisa memanfaatkan buku tersebut.
Demikian juga, kalau kita punya buku-buku agama yang bermanfaat, maka janganlah kita simpan di gudang sehingga tidak ada yang bisa memanfaatkannya. Bisa dipajang di masjid atau di sekolah, sehingga banyak orang yang bisa memanfaatkannya. Kalau tidak ingin diwakafkan, maka dipinjamkan. Misalnya, kita kasih stempel buku itu, sehingga bisa diketahui siapa pemiliknya. Hanya kita manfaatkan saja kegunaannya. Ini namanya manihatul ‘anzi, yaitu tidak melepaskan harta itu, tapi yang diwakafkan adalah manfaatnya. Itu juga bagus, karena manihatul ‘anzi itu salah satu di antara bentuk sedekah. Walaupun kita tidak melepaskan kepemilikannya.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53841-talbis-iblis-terhadap-orang-orang-yang-meremehkan-buku/